Oleh : M. Nigara
MELAYU POS INDONESIA, PALEMBANG – MALAM sudah mencengkram kota Palembang. Warung-warung kopi dan kedai-kedai makan yang tak jauh dari Sungai Musi, mulai dipenuhi pengunjung.
Waktu itu sekitar 1989-90. Saya, Bambang Kendro (BB), Raden Barus (Sinar Pagi), Eddy Lahengko (Suara Pembaruan), Raja Pane (Terbit), dan beberapa lainnya, sedang memesan makan di rumah makan Padang-Musi. Suasana agak penuh.
Maunya duduk di luar biar nyaman, tapi semua kursi penuh. Kami terpaksa makan di bagian dalam.
Ya, hari itu, kami di Palembang dalam rangka liputan Galatama. Hampir setiap Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) main kandang dan tandang, saya dan Bambang Kendro selalu diundang.
Saya ingat betul semua berasal dari pernyataan Mang Noebi (sapaan akrab Syarnoebi Said) di Bandara Cengkareng, beberapa saat setelah beliau mengambil-alih Yanita Utama Bogor dan mengganti namanya menjadi KTB.
“Eeh, _you_ Nigara, Bambang, bikin grup ya!” katanya sambil menunjuk saya dengan pipa gadingnya. “Empat atau lima wartawan. Pokoknya kemana aja KTB main, kalian ikut!” katanya lagi.
Hal itu langsung ditindaklanjuti oleh manajer tim Pak Amran Zamzami. “Pokoknya di luar Sam Lantang (BOLA), Alimudin (Angkatan Bersenjata, maaf kalau keliru), Yasidi (Berita Yudha), Opung (antara), ” tukas Pak Amran.
Maka saya, Mas BK, Riang Panjaitan (Sinar Pagi), trio yang selalu menjadi motor perjalanan. Lainnya, kami atur silih berganti. Ya, biar ada pemerataan dan pemasukan.
Saya dan Mas BK juga ikut ke Brunei Darussalam dan Saudi Arabia. Persis seperti ucapan Mang Noebi, kemana pun KTB jalan, kami pasti ikut.
Kembali ke Kedai Padang-Musi.
Pesanan masih dibuat, tiba-tiba Raja berlari keluar dengan tergesa-gesa: “Bang…. bang,” katanya sambil berlari keluar.
Tanpa berpikir panjang, kami semua ikut berlari. Bukan hanya kami, ada para tamu lain yang ikut bergegas keluar. Pasti ada rasa takut terjadi sesuatu ada juga yang ikut terbawa suasana.
“Ada apa Ja? Ada apa?” tanya saya dan teman-teman lain.
“Itu bang…, itu bang,” jawab raja terbata.
“Ada apa?”
Jujur, kami bingung, dan beragam perasaan berkecamuk. Maklum, ini Palembang, dan ini daerah yang ramai. Kami takut ada sesuatu yang mengkhawatirkan.
“Itu bang, itu Sipirok Dolok Hole!” tegas Raja sambil menunjuk Bis antar kota yang berhenti di seberang jalan.
“Lho, kenapa? Ada apa dengan bis itu?” Sekali lagi, beragam pikiran berkecamuk di kepala kami. Apakah bis itu ada masalah, atau bis itu pernah mencelakakan Raja atau siapa pun.
“Itu bisa dari kampung saya,” katanya lagi dengan wajah ceria.
Lha, kenapa? Tak lama Raja berkisah bahwa dia dulu pernah naik bis itu dan duduk di atap. Intinya, Sipirok Dolok Hole telah membangkitkan kenangan masa kecilnya. Masa yang terlalu indah.
Duh, Raja. Untung masa saat itu tidak rawan seperti sekarang. Kami pun hanya tertawa dan tamu yang ikut keluar juga tertawa. Terbayang jika hal itu terjadi sekarang. Pasti gaduh dan viral.
Aaaahhhh… Sipirok Dolok Hole…
MPI : Raden Barus / Editor : Ersan
Solidaritas Dan Gotong Royong Untuk Indonesia, Selengkapnya Klik Video Ini
BACA JUGA :
PROYEK TURAP PUPR PROPINSI JAMBI BIDANG SUMBER DAYA AIR YANG DIDUGA ASAL JADI
BACA JUGA :
Pekerja Bandara Soetta & Halim Terima Bantuan Dari Otban Wilayah I
[…] *Sipirok Dolok Hole* […]