Oleh Dr Masud HMN
MPI – Politik Identitas yang menyatukan (unity) serta mencerahkan (enlighten) dan politik identitas untuk memecah belah (difference) perlu dipahami secara jelas. Hal ini mengingat politik menyatukan adalah ikhtiar yang baik. Tetapi jika itu memecah belah dan konflik itu adalah hal yang buruk.
Akhir akhir ini adanya stigma mempersepsikan bahwa semua politik identitas adalah momok buruk, jangan dipakai dan harus dihentikan, serta dibuang jauh. Meski begitu masih saja muncul menjadikan hal ini perdebatan, Di benci tapi diperlukan atau dibenci tapi dirindu. Seperti judul lagu: “Benci Tapi Rindu”. Bukankah semua manusia ingin ada identitas yang membedakan satu dengan lainnya. Baik itu berasal dari suku, ras dan agama tertentu. Ambillah contoh, misalnya, kasus Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017, persaingan Ahok dan Anis Baswedan cukup keras. Tapi yang terpilih Anis Baswedan, hal ini adalah satu bentuk politik identitas.
Tak bisa dibantah sesungguhnya itulah Politik identitas, yang sejatinya berakar pada politik berdasarkan agama, berdasarkan pada ras dan suku.Tapi dalam demokrasi modern politik identitas dicela, dijelekkan bahkan dikategorikan adalah aibnya demokrasi, Kalau ada politik dengan membawa bawa suku, ras agama itu rasis namanya. Atau radikal ektrem yang berujung intoleransi. Lalu apa sebenarnya yang salah dari poltik identitas itu ?
John Keane dalam bukunya “The life and Death Democracy” mencoba membentangkan hal ihwal akar dari demokrasi, dari mana berawal,
bagaimana bertumbuh, serta apa dan bagaimana penyebab kematian demokracy, John Keane dalam bukunya setebal 992 halaman itu menetapkam proses logikanya bahwa tidak dapat dielakkan ada masa lahir tumbuh besar kemudian wafat, Yang terkhir ini
menghinggapi suara rakyat itu harus ditemukan. Jangan sampai menjadi polemic berkepanjangan.
Sebagai orang yang berkebangsaan Inggris dan John Keane tentu meletakkan cinta demokrasi yang tinggi, Ia ingin demokrasi itu berumur panjang dan lestari sepanjang jaman. Bukankah demokrasi merupakan produk unggulan lahir dari rahimnya bangsa Eropa yang harus eksis? Demokrasi yang sehat sepanjang masa, Dalam perjalanan waktu, Politik identitas dan pelbagai sebab yang membuat tidak sehatnya politik identitas malahan jadi penyakit demokrasi itu sendiri. Hal ini Dapat terurai kedalam rumpun ras yaitu bangsa, lalu, suku yaitu kelompok dan agama atau kepercayaan.
Sejarahnya seperti Politik demokrasi Junani sebelum Masehi, berakar pada politik Athena komunitas kota. Satu kesatuan penduduk dengan himpunan satu kepentinan yang sama.Politik kota menjadi model awal politik bangsa Junani kuno.
Beberapa abad kemudian lahir model Politik demokrasi Mesopotomia yang berasal dari unsur regional komunitas geografis, Lalu
ini pula yang menjadi penandaan identitas sebagai ciri dalam menghadirkan keberadaan. Kreteria yang bersumber dari nilai local menjadi pembeda antara yang satu dengan yang lain.
Dari dua bentuk identitas politik diatas penelusur sejarah politik menemukan kemiripan meski tak sama persis.Ia adalah Agnes Heller. Yang ada kemiripan itu kata Agnes Heller (Adillah S Ubeid dalam 2002 Politik Pergulatan Tanpa Identitas. Yayasan Obor Indonesia Magelang), menjelaskan politik identitas penandaan kriteria perbedaan. Dia memunculkan contoh Politik identitas dari model demokrasi India yang berakar dari multi etnis dengan penandaan identitas politik normatif intuitif. Yang banyak terkait dengan nilai Hinduisme.
Perjalanan proses sejarah pepolitikan identitas ditampilkan dunia Arab. Satu model politik identitas demokrasi Politik Islam dengan
berakar agama dari kabila dan suku yang hidup dan berkembang di era modern. Sebuah perpaduan filosofis dan agama. Ini berbasis
pada ideology Islam yang muncul dari Islam modern di Timur Tengah.Dari tiga bentuk polarisasi ditas, dapat disingkat hanya dua esensi penting yaitu didalamnya berbentuk perbedaan dan persamaan.
Identitas sebagai penandaan dan identitas sebagai differen atau perbedaan. Penulis berpendapat politik identitas beragam bentuknya dalam sejarah perpolitikan, Masing masing punya akar berbeda ada ras, Suku, ada intitutif regional atau kesamaan asal usul dan ada ideology pandangan berbasis spiritual. Terhadap perkembangan sekarang harus kita merujuk pada politik identitas supremasi white colour yakni kulit putih mendominasi Amerika yang menyatukan, mencerahkan dan yang
men-sejahterakan Amerika. Kita tolak politik identitas differencial konflik seperti Arab Spring Timur Tengah dengan konfliknya yang tak berujung dan kita ganti dengan membangun unity identitas politik dengan persatuan kebangsaan berkemajuan. Semoga!
*) Penulis adalah Doktor dan Dosen Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta.
Baca Juga :
MusrenbangDes Rantau Rasau 1 Susun RKPDes TA 2022 Perioritaskan Infrastruktur, Lisrik dan Air Bersih
Baca Juga :
WARGA RT. 21 BUKIT BALING KELUHKAN AIR PDAM YANG KOTOR HAMPIR SATU MINGGU